­

Quo Vadis Pemuda dalam Dinamika Politik Bangsa

Juli 02, 2014

Tulisan ini dimuat di http://www.bemkmftugm.org/2014/07/quo-vadis-pemuda-dalam-dinamika-politik.html dalam menyambut pilpres 2014.

Jauh sebelum adanya gagasan tentang konsep ilmu politik maupun ingar-bingar yang menyelimuti keberadaannya, Aristoteles (384-322 SM) dapat dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui salah satu buah pemikirannya, zoon politikon. Menurutnya, hakikat kehidupan sosial manusia di dunia adalah politik. Interaksi yang dihasilkan pun sudah pasti melibatkan hubungan politik, mempengaruhi atau dipengaruhi. Sejak saat itu penemuan-penemuan tentang pemahaman politik semakin berkembang. Pemikir-pemikir sosial baik di dunia barat maupun timur berlomba-lomba merumuskan konsep politik yang ideal. Sekarang, kita bisa menikmati produk pemikiran mereka berupa sistem pemerintahan, hukum, psikologi, maupun ilmu turunan yang berkaitan lainnya.
Berbicara tentang politik di Indonesia tentu tidak lepas dari peran para pemudanya. Sejarah mencatat bahwa gerakan pemuda yang peduli terhadap dinamika politik bangsa sudah berlangsung sejak lama, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Bermula dari gerakan kepemudaan daerah seperti Jong Java, Jong Celebes, ataupun Jong Sumatranen Bond bersatu padu menyatukan pemuda di daerahnya masing-masing. Kemudian pada tahun 1908 gerakan kepemudaan daerah tersebut bertransformasi menjadi Gerakan Budi Utomo yang menjadi titik kulminasi kebangkitan rakyat melawan para penjajah yang diinisiasi oleh para pemuda. Berlanjut dengan peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928, hingga pada puncaknya mendesak Soekarno untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Setelah Indonesia merdeka bukan berarti peran pemuda mereda, justru kiprah pemuda semakin giat menggelora. Hal ini terlihat ketika mereka turut mendorong runtuhnya orde lama pada tahun 1966 yang di komandoi oleh Soe Hok Gie,  seorang aktivis dari Universitas Indonesia yang memperjuangkan hak-hak rakyat. Gelombang besar pemuda kembali lagi turun ke jalan untuk melengserkan tahta Soeharto yang sudah terlalu lama mencengkeram singgasana pemerintahan Indonesia. Perjuangan panjang dan melelahkan akhirnya mencapai klimaks pada 21 Mei 1998 dengan dibacakannya pidato pengunduran diri Soeharto sebagai presiden Indonesia.
Jika kita merefleksikan eksistensi pemuda dulu dengan sekarang, saat ini masih terlalu banyak pemuda yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mereka hanya berani berkoar-koar di jalan, merusak sana-sini, namun jika dimintai solusi atas permasalahan bangsa, mereka yang semula berapi-api membakar ban, berubah seperti kerupuk yang terkena angin atau melempem, gagap dan tidak bisa menjawab.
Karena para pemuda sejatinya adalah pemegang tongkat estafet Republik ini selanjutnya, tugas kita sekarang adalah merubah stereotype tersebut yang terlanjur melekat. Jaman semakin berkembang, menyampaikan argumen pun sekarang tidak identik dengan turun ke jalan, membakar ban, merusak fasilitas umum, memblokade jalan, maupun tingkah anarkisme lainnya. Pemuda kini dituntut untuk menyampaikan aspirasinya secara lebih intelektual dan elegan. Banyak sekali yang bisa dilakukan seperti membuat beragam acara yang meningkatkan kepedulian politik bagi para generasi muda bisa dengan dialog kebangsaan, mimbar bebas, hingga beragam diskusi. Pun sebagai cendekiawan muda, berdiskusi harus menjadi sebuah budaya yang mendarah daging. Budaya diskusi ini bisa dikemas dalam berbagai bentuk acara, sehingga bisa tetap mengedukasi dengan cara yang menyenangkan.
Selain itu masih ada cara untuk berkontribusi yang sangat relevan untuk kita lakukan. Sebagai negara kepulauan terbesar sekaligus memiliki populasi penduduk terbesar ke-empat di dunia yang tersebar di 13.487 pulau dari Sabang sampai Merauke, Indonesia membutuhkan sebuah sistem yang dapat mempersatukan, menjalin koneksi antar daerah, menggalang persatuan, senasib sepenanggungan. Maka, demokrasi menjadi pilihan ideal para founding fathers ketika merumuskan sistem pemerintahan yang cocok untuk diterapkan di negara sebesar Indonesia ini. Demokrasi merupakan simbol kesetaraan, keterwakilan entitas yang beragam, dan kesempatan memperoleh hak yang sama di depan negara. Maka dari itu, sebagai produk dari sistem demokrasi, kurang dari 1 minggu lagi kita akan merayakan perhelatan pesta demokrasi terbesar di negeri ini, Pemilu Nasional.
Pemilu tahun ini merupakan pemilu ketiga yang diadakan secara langsung yang berarti setiap rakyat memiliki hak dan kesempatan untuk menentukan pilihannya. Walaupun pemilu legislatif sudah terlewati, namun masih ada pemilu presiden yang diselenggarakan pada tanggal 9 Juli mendatang. Menurut data BPS tahun 2010, kelompok umur berusia 10-14 tahun sebanyak  22.677.490 jiwa dan kelompok umur berusia 15-19 tahun sebanyak 20.871.086 jiwa. Jika diasumsikan kelompok umur 10-14 tahun pada tahun 2014 separuhnya memasuki umur 17 tahun dan kelompok umur 15 -19 tahun semuanya menjadi pemilih, maka ada 32 jutaan potensi suara pemilih pemula pada Pemilu 2014. Dilihat dari fakta tersebut, suara kita sangat potensial dalam pemilu yang akan datang. Menurut data dari KPU, total pemilih dalam pemilu tahun ini  sebanyak 185.822.255 pemilih.
Melihat presentasi jumlah pemilih pemula tersebut, tentu bisa dibayangkan bagaimana potensi kita sebagai pemuda? Lihat saja, kini partai pemenang pemilu hanya mengantongi 19% suara, partai incumbent merosot ke kisaran 10%, sementara yang lain berada di kisaran 7-9% saja. Seandainya kita para pemuda membuat partai politik sendiri, maka bisa dipastikan kita memenangi Pemilu! Untuk itu, sudah selayaknya kita sebagai pemuda ikut turun tangan mengurus Republik ini. Bagaimana caranya? Tidak perlu buat partai baru, tidak perlu jadi caleg, juga tidak perlu jadi capres. Caranya sederhana saja, gunakan hak pilih kita sebaik mungkin. Apabila mayoritas dari kita menggunakan hak pilihnya secara cerdas, maka kualitas demokrasi ke depan tampak lebih menjanjikan.
Melihat realita dan berbagai permasalahan bangsa yang semakin pelik adanya, sekarang ini kita butuh pemimpin yang menggerakkan, yang memberi inspirasi, yang ada untuk merangkul, bukan menghardik dengan kekuasaan. Pemimpin yang kehadirannya bisa dirasakan nyata, bukan hanya untaian kata-kata di layar kaca semata yang tidak terjamah. Seorang pemimpin itu bukan hanya dia yang mengharapkan pujian. Bukan dia yang ingin dikenal dan terkenal, tapi dia yang rajin mengenal, yang menyentuh sampai ke hati. Bukan dia yang berpikiran kosong, tapi dia yang mempunyai visi besar dan menjadi motor penggerak bagi orang-orang yang hidupnya bertumpu padanya.
Kesimpulannya, saat ini banyak cara yang bisa dilakukan pemuda untuk menunjukan kepeduliannya terhadap dinamika politik di Indonesia. Kita tidak lagi berada pada masa dimana kebebasan berpendapat diawasi ketat, bukan masa di mana yang bersuara akan hilang atau mati tertembak. Sekarang adalah masa reformasi dan kita bisa bebas mengutarakan pendapat. Jadi jangan lagi kita menutup mata dan apatis terhadap politik, karena segala kepentingan yang menyangkut hajat hidup orang banyak bermuara pada keputusan politik. Tak melulu harus menggunakan cara yang besar dan bombastis, namun bisa dimulai dengan cara-cara sederhana nan elegan yang menggerakkan.
Jadi pertanyaan selanjutnya, kita sudah berbuat apa wahai Pemuda?

You Might Also Like

0 komentar