Analogi Gunung
Juni 25, 2014
Kapan terakhir kali naik gunung?
Puncak Kentheng Songo, 3140 mdpl |
Hmm, sepertinya baru 2 bulan lalu kaki ini menjejak puncak Gunung Prau, di dataran tinggi Dieng, Wonosobo, 2565 meter diatas permukaan laut. Membawa serta beban tugas yang sampai hari itu belum terselesaikan. Walau begitu, entah kenapa, gunung menjadi tempat yang sangat tepat untuk melepas segala penat. Tak terkecuali minggu kemarin, saat kaki ini, sekali lagi berhasil menaklukan salah satu gunung tertinggi di pulau jawa, Gunung Merbabu, 3145 meter diatas permukaan laut. Terimakasih kepada Gunung Merbabu yang telah menjadi puncak keempatku.
Kepergianku kali ini membuahkan cerita unik yang sebelumnya belum pernah kualami. Pertama, perjalananku kali ini hanya melibatkan dua orang. Ya, hanya dua orang. Aku dan salah seorang kawan di kampus. Dia ini yang paling menggebu mengajakku naik gunung. Sudah tak terhitung berapa kali dia mencoba mengajakku. Sayangnya, waktu dan kondisinya selalu saja tidak pas. Namun, entah kenapa kali ini ku setujui permintaanya, padahal, sekali lagi, hanya berdua saja. Kesimpulannya ada dua, antara kami yang jago dan pemberani, atau kami yang terlalu nekat. Entahlah. Kedua, untuk pertama kalinya sewa motor untuk naik gunung. Bukannya apa, tapi motorku sudah terlalu renta untuk dibawa perjalanan jauh, apalagi dengan medan yang berat. Sungguh, aku tidak tega. Akhirnya kami memutuskan untuk menyewa motor. Dengan bermodal uang 50.000 kami menyewa motor Mio J keluaran terbaru yang sayangnya terlalu mini untuk mengangkut badan bongsor kami ditambah tas carrier yang terlampau besar. Disini, mental anak kos bekerja, apapun bentuknya yang penting murah. Alhasil, beberapa kali kawanku ini harus turun dari motor karena tidak kuat menghadapi tanjakan yang sangat curam.
Kepergianku kali ini membuahkan cerita unik yang sebelumnya belum pernah kualami. Pertama, perjalananku kali ini hanya melibatkan dua orang. Ya, hanya dua orang. Aku dan salah seorang kawan di kampus. Dia ini yang paling menggebu mengajakku naik gunung. Sudah tak terhitung berapa kali dia mencoba mengajakku. Sayangnya, waktu dan kondisinya selalu saja tidak pas. Namun, entah kenapa kali ini ku setujui permintaanya, padahal, sekali lagi, hanya berdua saja. Kesimpulannya ada dua, antara kami yang jago dan pemberani, atau kami yang terlalu nekat. Entahlah. Kedua, untuk pertama kalinya sewa motor untuk naik gunung. Bukannya apa, tapi motorku sudah terlalu renta untuk dibawa perjalanan jauh, apalagi dengan medan yang berat. Sungguh, aku tidak tega. Akhirnya kami memutuskan untuk menyewa motor. Dengan bermodal uang 50.000 kami menyewa motor Mio J keluaran terbaru yang sayangnya terlalu mini untuk mengangkut badan bongsor kami ditambah tas carrier yang terlampau besar. Disini, mental anak kos bekerja, apapun bentuknya yang penting murah. Alhasil, beberapa kali kawanku ini harus turun dari motor karena tidak kuat menghadapi tanjakan yang sangat curam.
Walau beban akademis secara resmi telah sempurna terselesaikan, namun ternyata kami membawa beban diri masing-masing ke puncak Merbabu.
Aku masih percaya bahwa gunung adalah tempat yang paling tepat untuk berkontemplasi. Dan itu terbukti. Gunung seakan menjadi sweet escape bagi orang-orang yang penat dengan rutinitasnya, yang lelah dengan kesibukannya, pun yang butuh energi baru dalam mengarungi hidup. Janji akan indahnya penorama puncak ditambah landskap yang luar biasa di sepanjang perjalanan menjadi magnet kenapa gunung menjadi tempat favorit untuk berelaksasi -tentu dengan perjuangan yang berat pula dalam mendakinya.
Karena perjalanan ini hanya melibatkan dua orang, mau tidak mau, sepanjang perjalanan, kami terus berbagi cerita satu sama lain. Disamping untuk mengakrabkan diri, juga mengusir rasa sepi di tengah hutan yang sangat gelap dan senyap. Cerita-cerita itu mengalir, apa saja, mulai dari rencana-rencana masa depan, tentang amanah-amanah yang harus diselesaikan, kehidupan kampus yang tidak pernah habis dibahas, tentang mimpi yang belum kesampaian, hingga saran agar aku segera mempunyai pacar. Makasih ya sarannya.
Bagiku, gunung tak ubahnya analogi kehidupan.
Puncak, adalah tujuan dari semua pendaki. Dan semua puncak gunung menawarkan janji keindahaannya masing-masing. Tapi kadang kita lupa, mereka tidak serta merta bisa sampai ke puncak, jalan menuju kesana tidak selalu mulus, pasti berliku, pasti selalu ada aral melintang. Bahkan, jika kamu telah mencapai puncak, kamu belum tentu mendapatkan janji indahnya sunrise di pagi hari. Bisa saja mataharimu itu tertutup awan, mungkin mendung, atau yang terburuk, badai.
Bahkan, walau kita sudah melakukan perjuangan berat menuju puncak gunung, tidak ada jaminan keindahan sunrise di puncak gunung bukan?
Analogi gunung mengajariku banyak hal, siapapun kamu, dimanapun kamu, jangan pernah sekali-kali menyesali perbuatan-perbuatan baik yang telah kamu lakukan, seberat dan sesulit apapun itu. Walau perbuatanmu dianggap remeh, tidak dihargai, di hina dina, jangan sekali-kali berhenti berbuat baik. Yakinlah, bahwa selalu ada balasan bagi orang yang berbuat baik, sekecil apapun itu. Mungkin dia tidak datang segera, mungkin esok, mungkin lusa, atau mungkin lusa setelah lusa, tidak ada yang tahu itu. Tapi yang jelas, dia datang ketika kau sudah siap, ketika kau sudah selesai dengan segala urusanmu. Dia hanya menguji kesabaranmu, sejauh mana kau bersikap dan bereaksi terhadap semua rintangan yang mendera. Dia akan datang sebagai hadiah, hadiah atas segala kesabaranmu, kekuatanmu, ketangguhanmu dalam menyelesaikan setiap masalah-masalah yang menimpamu.
Jadi, teruslah mendaki dan jangan sampai berhenti hingga janji sunrise itu terbukti di puncak kita masing-masing.
Jadi, teruslah mendaki dan jangan sampai berhenti hingga janji sunrise itu terbukti di puncak kita masing-masing.
Bantul, 25 Juni 2014
01.49 WIB
Satria Taru
Satria Taru
0 komentar