­

Ceritanya Naik Level

Juli 13, 2014

Sebagai seorang mahasiswa teknik, tentunya kita dijejali dengan hal-hal yang berbau eksak setiap harinya. Wadah-wadah yang menampung minat mahasiswa di luar bidang itu rasa-rasanya sangat minim terakomodir. Di lingkup fakultas saya, hanya ada klub film dan pecinta alam saja yang terbebas dari unsur-unsur keteknikan. Selebihnya tidak ada.

Saya yang kebetulan suka (bukan jago) menulis dihadapkan pada jurusan saya yang sama sekali tidak ada wadah untuk menyalurkan minat saya ini. Satu-satunya wadah hanya UKM tingkat universitas yang saya yakin menyedot banyak sekali waktu. Serba salah ya. Akhirnya saya memutuskan bergabung di salah satu departemen BEM yang sedikit nyerempet di bidang tulis-menulis.

Sejak SD saya suka sekali kalau disuruh mengerjakan PR mengarang bebas apalagi temanya liburan. Bisa dua lembar sendiri saya menulis padahal untuk pelajaran lainnya saya kadang malas untuk menulis catatan. Masuk SMP, saya menulis di majalah sekolah setiap semester. Masuk SMA, saya menulis di buletin bulanan. Masuk Kuliah, saya menulis di bulletin BEM dan dua kali tulisan saya dimuat di website organisasi tersebut.

Karena sedang libur dan kurang kerjaan, ceritanya saya pengen naik level dalam bidang tulis menulis. Kata orang, kalau tulisanmu dimuat di media massa berarti tulisanmu tergolong intelek. Demi menantang diri saya sendiri sejauh mana tingkat intelektualitas tulisan saya, maka saya mencoba memberanikan diri mengirim artikel ke media massa. Tak tanggung-tanggung, alih-alih media lokal saya langsung mengirimkannya ke media nasional, Kompas. Kalau dipikir, betapa sok nya saya, tulisan masih ecek-ecek aja berani kirim artikel ke Kompas. Tapi saya kembali ke prinsip awal bahwa tidak ada salahnya mencoba. Selang 16 hari dari waktu pengiriman, email balasan itu datang.



Seperti yang saya duga, artikel saya dikembalikan (bahasa halusnya dari ditolak). Kalo kata orang tadi, tulisan saya belum cukup intelek. Tapi, ada satu hal yang buat saya bisa sedikit tersenyum, karena alasan pengembalian artikel tersebut karena kesulitan mendapat tempat, bukan masalah konten, ataupun hal teknis lainnya. Saya sih maklum karena bisa dibayangkan saya bersaing dengan pakar politik, akademisi, maupun dosen-dosen dari berbagai universitas yang kelasnya jauuuuuuuuuuuuh diatas saya untuk memperebutkan space yang jumlahnya sangat terbatas.

Lagi-lagi pengalaman menarik bisa diambil, jangan pernah takut untuk mencoba, walau jurusan saya teknik tidak menghalangi saya untuk menyampaikan pandangan saya terhadap politik. Arogansi jurusan pun sebaiknya harus segera dihindari karena sekarang kita bergerak dalam dunia yang bukan lagi multi-disiplin, melainkan inter-disiplin, semuanya saling terkait dan berhubungan.

Ohiya, ehm, barangkali yang lagi baca ini ada proyek nulis baik penelitian atau kompetisi apapun, bisa lho ngajak yang nulis ini jadi sparring partner, hehe.



You Might Also Like

0 komentar