Yogyakarta: Romantika Sebuah Kota
Oktober 22, 2014Tulisan ini dimuat di http://pemudatataruang.org/index.php/publikasi/artikel/124-yogyakarta-romantika-sebuah-kota
“Pembangunan saat ini cenderung hanya mementingkan aspek ekonomi, tanpa
memperhatikan faktor sosial dan budaya. Bahkan, aspek alam pun seringkali
diabaikan,” -Yoyok Wahyu Subroto, Dosen Jurusan Teknik Arsitektur dan
Perencanaan UGM
Memang ada benarnya juga apa yang
disampaikan oleh Bapak Dosen tersebut. Rasa-rasanya, kini kota dibangun atas
dasar economically driven, dimana
semuanya ditentukan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan ekonomi. Padahal,
banyak aspek yang bisa digali selain ekonomi dalam membangun sebuah kota yang
ideal. Karena kota adalah sebuah “organisme” abiotik yang hidup. Kenapa disebut
organisme? Karena kota, sejatinya selalu tumbuh dan berkembang, baik berkembang
kearah lebih baik yang ditandai dengan pembangunan infrastruktur yang pesat
maupun sebaliknya, mengalami kemunduran dan ditinggalkan para penghuninya.
Hubungan antara sebuah kota dengan aktivitas para penghuninya juga menimbulkan
berbagai dinamika sosial yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Karena
sejatinya kota adalah ruang dimana manusia melakukan aktivitas (Geddes, 1923).
Dalam sebuah kota terdapat beragam
komponen yang menyusun kota menjadi sebuah kesatuan yang utuh, salah satunya signage.
Signage atau penanda jalan dalam sebuah kota menjadi salah satu fasilitas ruang
yang terkadang kita abaikan keberadaanya, padahal signage tersebut memberikan
banyak informasi tentang sebuah kota. Signage bisa berupa papan informasi arah
jalan, spanduk, baliho, rambu-rambu lalu lintas, maupun papan informasi digital
yang kini mulai merebak di berbagai kota di Indonesia.
Berkaitan
dengan signage, baru-baru ini ada
fenomena menarik yang terjadi di salah satu sudut kota Yogyakarta. Jika
biasanya signage yang berupa baliho menampilkan informasi seputar program
pemerintah, promosi produk, hingga kampanye caleg, baliho yang terletak di
perempatan kotabaru dibawah jembatan Kretek Malioboro ini justru menampilkan
isi yang unik dan berbeda dari baliho-baliho yang lainnya, yaitu............
lamaran pernikahan! Cara yang sangat luar biasa epic dalam melamar seorang wanita yang tidak pernah terpikirkan
sebelumnya. Mungkin sang pria adalah seorang perencana kota yang tau
seluk-beluk kota Jogja, tahu dimana titik-titik yang menjadi nodes sehingga dia tahu lokasi yang
sangat strategis dimana baliho tersebut mudah dijangkau penglihatan mata.
Fenomena ini mungkin bisa saja
sebagai isyarat, walau tidak sepenuhnya benar, bahwa masyarakat awam sekalipun
kini sudah mulai aware dengan
pemanfaatan fasilitas ruang yang bisa digunakan untuk menjalin interaksi yang
lebih personal, menggiring persepsi masyarakat untuk turut serta merasakan
perasaan yang sama yang ingin disampaikan oleh sang pembuat baliho. Jangan
heran kalau besok akan ada hal-hal serupa yang bertebaran di baliho-baliho lainnya
di Yogyakarta, atau bahkan bisa saja orang yang menjadi objek dalam baliho
tersebut membalas pernyataannya menggunakan media baliho juga. Selama isi dari
baliho tersebut tidak mengandung hal yang SARA dan saling mengadu domba,
penggunaan media baliho untuk kepentingan personal sah-sah saja. Bahkan bisa
juga digunakan sebagai media untuk mengawasi jalannya roda pemerintahan sebuah
kota, sehingga masyarakat bisa
berpartisipasi aktif dalam dinamika kota yang dihuninya.
Ternyata, walaupun Yogyakarta
kini sedang digempur habis-habisan oleh pembangunan beragam hotel dan mall, social capital masyarakat Yogyakarta
yang terkenal akan keramahtamahan dan rasa kekeluargaan yang erat itu masih
terjaga sangat kuat. Fenomena ini seakan menunjukan bahwa kota Yogyakarta masih
memiliki sisi-sisi humanis nya. Mungkin inilah yang menyebabkan banyak orang
yang datang ke Jogja tidak ingin pulang ke daerah asalnya,mungkin inilah yang
menyebabkan banyak orang menjadikan Jogja sebagai rumah keduanya. Karena
disadari atau tidak, Yogyakarta adalah kota humanis yang penuh romantika.
“The story of our love is just beginning, will you marry me and write
our own happy ending?”
Selamat datang di kota Yogya!
Karena Yogya berhati mantan nyaman!
Oleh: Satria Taru Winursita
0 komentar