Mengoptimalkan Potensi Bahari Yogyakarta dengan Among Tani Dagang Layar

Mei 02, 2015

Tulisan ini di muat di Rubrik "Siteplan" dalam Buletin RUANG Edisi 1II/27 April 2015, Buletin Mingguan PWK UGM.


Pemecah Ombak Pantai Temon, Kulonprogo

            Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan belasan ribu pulau dan ribuan kilometer panjang garis pantainya. Sejarah mencatat, dahulu nusantara kita pernah berjaya di lautan. Sebut saja Kerajaan Majapahit yang mempunyai area pendudukan yang paling luas. Setelah era Kerajaan Sriwijaya berakhir, Majapahit menjadi negara maritim utama yang memiliki armada maritim terbanyak dengan lebih dari 2800 perahu. Kitab Negarakertagama mengisahkan ada 98 tempat di nusantara yang membayar pajak kepada Majapahit, termasuk 16 kawasan di semenanjung Melayu, Pahang, Langkawi, Kelantan, Trengganu, Tumasik (Singapura), Kelang serta Kedah. 
            Bertolak dari refleksi sejarah itu, Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Jokowi-Jusuf Kalla, kini menaruh perhatian yang sangat serius terhadap sektor maritim kita. Pembangunan infrastruktur yang dulu dipusatkan di  darat, kini arahnya mulai bergeser ke laut. Hal tersebut tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang ingin menjadikan Indonesia sebagai salah satu poros maritim dunia.
            Visi Maritim tersebut rupanya telah ditangkap oleh Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X jauh sebelum Presiden mengungkapkan keinginannya menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Pada tahun 2012, beliau mengungkapkan Paradigma “Among tani dagang layar”. Paradigma dari ‘Among Tani’ ke ‘Dagang Layar’ bukan berarti petani berpindah menjadi nelayan. Paradigma ‘Among Tani Dagang Layar’ merupakan kesatuan kalimat yang memiliki arti kegiatan usaha pertanian dan kelautan secara simultan dan terintegrasi membentuk sinergi dalam pengembangan potensi pantai selatan DIY serta pergeseran pola pikir masyarakat, bahwa potensi kelautan yang sangat besar di bagian selatan DIY sudah waktunya menjadi fokus baru dalam upaya mensejahterakan warga. Hal ini tentu sangat relevan jika dikaitkan dengan kondisi Yogyakarta saat ini, dimana ada kecenderungan yang mulai mengkhawatirkan terhadap usaha pertanian tradisional, yaitu terjadinya alih fungsi lahan yang sulit untuk dibendung. Pada tahun 2014 saja, ada 114 izin mendirikan hotel dan 3 buah Mall baru yang siap dibangun. Setiap tahun, sekurangnya 200 hektar lahan subur beralih fungsi ke lahan non pertanian. Selain itu, tenaga kerja di bidang pertanian memiliki pemasukan yang paling rendah dibandingkan sektor lain. Penyerapan tenaga kerja di bidang pertanian terus menurun tiap tahun, serta generasi muda perdesaan enggan terjun ke bidang pertanian.
            Berangkat dari fakta tersebut, Pemerintah DIY harus serius menggarap sektor kemaritiman ini. Laut Selatan bukan lagi ditempatkan sebagai halaman belakang, tetapi justru dijadikan halaman depan. Bukan hanya dijadikan tempat wisata bahari, namun sebagai peluang pembuka keran investasi. Peralihan paradigma ini juga sejalan dengan kebijakan ekonomi nasional dengan ditempatkannya wilayah Kulonprogo dalam program MP3I (Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Indonesia berupa Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), termasuk dalam ‘Koridor Delapan' seluas 3500-3700 ha. Konsekuensinya, perlu melakukan kaji ulang terhadap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) secara komprehensif, menyeluruh dan lengkap, dengan menempatkan Jawa bagian selatan untuk penyebaran pertumbuhan.
            Paradigma Among Tani Dagang Layar merupakan integrasi Pemerintah DIY dalam menangkap visi Pemerintah pusat di sektor maritim. Daerah Istimewa Yogyakarta tentu mempunyai potensi yang sangat luar biasa. Provinsi yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia ini memiliki garis pantai sepanjang 113 kilometer mil laut yang tersebar di 3 kabupaten, yaitu Kulonprogo, Bantul, dan Gunungkidul. Wujud nyata yang dapat dilakukan dalam menginternalisasi paradigma tersebut salah satunya dengan mengalihkan pusat pertumbuhan ekonomi dari wilayah Pantura ke Pantai Selatan dengan mengembangkan klaster-klaster industri kecil dan agribisnis di pedesaan, serta industri kelautan, perikanan dan pariwisata maritim, yang didukung infrastruktur jalan selatan-selatan. Investasi skala besar juga patut dipertimbangan karena setiap kabupaten memiliki potensi nya masing-masing. Kulonprogo dengan bandara baru dan rencana pendirian pabrik pasir besinya, Bantul dengan potensi pembangkit listrik tenaga anginnya, serta Gunungkidul dengan potensi wisatanya serta tangkapan ikan yang melimpah. Kita tunggu saja, apakah paradigma ini akan berdampak pada kebijakan pembangunan Yogyakarta kedepan.

You Might Also Like

0 komentar