Sekelumit Dunia Kerja
Agustus 08, 2014
Entah kenapa, akhir-akhir ini saya sering sekali merefleksi kehidupan pasca kampus. Tak jarang pula hal ini jadi bahan diskusi yang seru dengan kedua orang tua. Pilihannya ada dua, bekerja atau lanjut S2. Ini bukan perkara main-main sebetulnya. Banyak sekali pertimbangan yang harus dipikirkan. Juga banyak "beban" yang harus segera diangkat. Disaat yang lain hura-hura atau bersenang-senang dalam dunia kampus, pikiran saya malah jauh melampaui apa yang seharusnya saya pikirkan. Maklum, sebagai anak tertua yang datang dari keluarga yang sederhana, tentu saja banyak yang menaruh harapan agar saya segera bisa membantu meringankan atau bahkan kalau bisa menghilangkan segala masalah dan beban yang mendera. Dalam memilih jenis pekerjaan pun saya juga ragu, apakah lebih menitikberatkan pada minat potensi diri atau pada salary? Tegak pendirian dalam pekerjaan yang satu arah dengan core ilmu pengetahuan, atau yang tidak ada hubunganya sama sekali namun dibalut dengan tunjangan yang menjanjikan. Bagaimana dengan opsi S2? Rasa-rasanya, jika dibenturkan dengan kenyataan yang ada, opsi ini bisa dibilang menjadi opsi yang kesekian. Mungkin akan beda ceritanya ketika kita datang dari keluarga yang sudah mapan, anak-anaknya dibebaskan untuk menjadi apa yang dia inginkan. Segala fasilitas penunjang kelas wahid di sediakan guna memudahkan segala aktivitas mereka menempuh cita-cita. Mau kerja silahkan, mau lanjut S2 sangat dianjurkan. Tapi kenyataannya, saya tidak ada di posisi mereka.
Saat masuk SMP, saya pernah mengikuti psikotest dan ada satu poin yang menunjukan tentang Wawasan Dunia Kerja. Saya mendapat nilai yang cukup tinggi di poin tersebut, 8.57 dari 10, bahkan jauh melampaui rata-rata kelas yang hanya menyentuh angka 6. Bahkan sejak SMP pun saya sudah memikirkan hal ini. Kerja.
Awal masuk kuliah, disaat yang lain ingin menata bagaimana kehidupan kampus yang ideal yang ingin mereka jalani, saya malah mulai memikirkan topik skripsi. Baru mau memasuki tahun kedua kuliah, saya sudah memikirkan tentang dunia kerja. Lantas, bagaimana dengan tahun-tahun berikutnya? Sejauh apalagi yang mungkin bisa saya pikirkan?
Terkadang, disela-sela waktu melamun, terbersit keinginan untuk bekerja part-time, jadi operator warnet, penyiar radio, pelayan di rumah makan, atau apalah yang bisa menambah pengalaman dan pemasukan. Tapi setelah berpikir ulang, pasti kenginan itu tak bisa semudah dijalankan karena ada tanggungan dan amanah di kampus yang tak bisa ditinggalkan. Padahal, saya punya banyak teman yang mulai mencicipi dunia kerja dimasa kuliah karena beragam alasan. Ada yang mengajar les, admin di salah satu lembaga belajar, bahkan ada pula yang bekerja di laundry! Sungguh mereka ini orang-orang hebat yang selalu saya kagumi. Mereka yang benar-benar berjuang, menyingsingkan gengsi, demi bisa sedikit-sedikit membahagiakan orang tua, bukan yang sedikit-sedikit membanggakan pemberian orang tua.
Waktu semakin bergulir dan saya semakin menyadari bahwa saya semakin tua. Seharusnya ada sebuah lompatan besar yang saya lakukan dalam memaknai setiap jengkal kehidupan. Karena hidup tidak sesederhana kuliah, bekerja, menikah, lalu mati. Harus lebih banyak lagi potensi yang digali, sedekah ilmu yang dibagi, atau paling tidak, bermanfaat bagi sesama, sekecil apapun itu.
Masa depan memang masih menjadi misteri. Tidak ada kuasa kita untuk menentukan mau jadi apa kita kelak. Masa depan memang tidak pasti, apalagi tentang pekerjaan yang berhubungan dengan gemerincing koin-koin penyanggga kehidupan
Inilah sedikit celotehan saya tentang dunia kerja yang masih dipenuhi kabut hitam. Tidak usah terlalu serius, karena saya baru mahasiswa kemaren sore yang mau masuk ke tahun kedua.
Bantul, 08 Agustus 2014
Satria Taru
0 komentar