Kisah Dua Pemburu Beasiswa Taiwan

Februari 12, 2014


“IP mu berapa?”

Pulang kuliah, saya langsung disambut pertanyaan yang mengemparkan dunia persilatan! Mood yang paling pas untuk leha-leha itu dirusak oleh satu kalimat saja. Sebetulnya paling malas menjawab pertanyaan yang seperti ini. Mungkin kalau boleh dibilang, ini salah satu pertanyaan yang harus dimasukan kedalam kategori SARA. Apasih.

Ternyata yang bertanya sore itu adalah Oom saya. Walau dia tinggal di Jogja, tapi itu pertama kalinya saya bertemu beliau lagi sejak setahun silam. Dari pertanyaan “IP mu berapa” itu, obrolan semakin memanas menjalar kemana-mana. Kebetulan beliau ini dosen di salah satu universitas negri di Yogyakarta dan belakangan saya baru tau kalau dia juga dosen terbang yang pernah mengajar di beberapa kampus di Malaysia dan Thailand. Ya sudah, dengan membayangkan muka dosen DPA (Dosen Pembimbing Akademik), saya jawab saja IP saya berapa, dengan sedikit malu-malu.

Karena tahu saya ini scholarships hunter + exchanger yang gagal terus belum berhasil. Dia mulai bercerita tentang perjuangan dua mahasiswanya memburu beasiswa di negri Taiwan, untuk motivasi saya katanya. Begini, kedua mahasiswa ini ternyata bersahabat. Mendaftar bersama, seleksi bersama, wawancara bersama, namun tidak berangkat bersama. Ya, ternyata hanya satu diantara mereka yang berangkat. Tentu wajar jika ada yang berhasil ataupun gagal. Apalagi mereka bersahabat, tentu ada konflik batin yang lebih hebat antara si penerima dan yang tertolak. Lantas, Oom saya bertanya kepada yang tertolak itu; 

“Gimana perasaan kamu?”

“Ya sakit lah pak. Dia berangkat tapi saya nggak. Kan Pengeeeen”

“Tapi kan kamu udah keterima di OJK (Otoritas Jasa Keuangan, salah satu divisi di Bank Indonesia) bayarannya gede tuh!”

“Hehe... Iya pak”

“Nah, yaudah sama aja kan berarti? Kamu dan dia itu (si penerima beasiswa)sebetulnya sama-sama dapet rejeki. Dia disana dapet rejeki berupa ilmu, kamu disini dapet rejeki berupa materi. Asal tau aja, bayaranmu disini jumlahnya lebih besar dari beasiswa yang dia dapet. Jadi ya sama saja, impas, kalian ini sama-sama dapet rejeki.”

Si tertolak itu diam seribu bahasa dan cuma bisa manggut-manggut.

Dari situ, saya jadi teringat pertengahan tahun lalu, ketika keinginan saya untuk merantau sangat menggebu-gebu. Waktu itu, saya tidak pernah melirik universitas yang ada di Yogya ini. Pikiran saya selalu keluar, entah itu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, dimana saja yang penting judulnya merantau, tidak disini. Dalam memilih UGM pun, semata mata karena  saya tidak kuasa melawan mantra yang dilontarkan ibu saya;

“Kamu nyoba UGM dulu, kalo nggak keterima, kamu baru boleh nyoba yang lain”.

Hari-hari berlalu dan ternyata saya mendapat kesempatan untuk berkuliah disini dan juga di Bandung. Lucu, kisah saya ini malah seperti dua pemburu beasiswa Taiwan itu. Bedanya, disini saya yang menentukan nasib saya sendiri. Mau jadi si penerima beasiswa yang berangkat ke Taiwan atau memilih menjadi si tertolak, tetiap setia di kampung halaman sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

Kenyataannya, sekarang saya masih disini, di Yogyakarta. Menerima nasib yang sudah digariskan dengan menjalani peran sebagai si tertolak. Bedanya lagi, saya masih tidak berlimpah uang, karena saya baru masuk kuliah, bukan kerja di OJK. Saya juga masih meraba-meraba kenapa saya mendapat peran menjadi si tertolak. Kejutan apa yang bisa di dapat selama menjalani peran ini? Apa yang menunggu saya di ujung peran ini? Saya pun belum tahu.

Tapi, sedikit-sedikit saya mulai menyadari kenapa saya diberi peran ini. Mungkin, saya masih harus menyelesaikan apa yang harus saya selesaikan sebelum diizinkan pergi. Mungkin, saya masih harus berbakti kepada keluarga. Membantu ibu bapak merintis lagi usaha yang selama ini jatuh bangun. Mengajari adik saya matematika yang sebentar lagi UN. Mengurusi segala tetek bengek pekerjaan rumah, atau sekedar menemani adik saya yang paling kecil latihan naik sepeda roda dua di sore hari.

Sesederhana itu.

Dari kisah dua pemburu beasiswa Taiwan ini, saya menyimpulkan suatu hal. Sebetulnya, dalam keadaan apapun, kita selalu dilimpahi rejeki oleh-Nya. Hanya saja perspektif kita dalam menyikapi suatu hal seolah-olah menjadikan kita makhluk yang paling sial di dunia, dijauhi dewi fortuna, tidak pernah beruntung. Everything happened for a reason. Saya sadar bahwa menyaksikan guratan-guratan di wajah kedua orangtua saya yang semakin bertambah dimakan usia adalah rejeki yang luar biasa. Saya sadar bahwa menyaksikan adik-adik saya bertumbuh adalah sebuah rejeki yang tidak semua orang bisa mengalami, bahkan menyadari.

Jadi, kalau sekarang saya masih menjadi si tertolak, saya tidak akan protes. Saya akan berusaha  menjalani peran ini dengan sebaik-baiknya. Jika pada waktunya nanti semua urusan di OJK ini sudah selesai, saya pasti berangkat ke Taiwan!

You Might Also Like

0 komentar