Citra
Juni 24, 2013
Ketika menulis ini, saya dihadapkan
pada kenyataan kalau hidup sekali lagi tak semudah seperti menonton sinetron
ftv. Rupanya, almameter dimana saya berasal membuat orang berpikir liar didalam kepala mereka sendiri.
Oh, karena citra ternyata.
Ditulisan ini, saya ingin membahas tentang
“Citra”. Citra disini bukan produk pemutih yang mudah kita jumpai di pasaran,
tetapi sebuah kata benda yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, merupakan
gambaran yang dimiliki orang banyak mengenai pribadi, perusahaan, produk, atau
organisasi. Almameter tempat saya berasal memang selalu dicitrakan sebagai
tempat yang wah, alim, serba bagus, dan predikat-predikat indah lainnya.
Orang-orang di dalamnya pun, tentu menciptakan citra diri sesuai yang ia
kehendaki. Ada yang membentuk citra dirinya sedemikian rupa supaya bisa tetap
survive dalam pergaulan. Ada juga yang masa bodoh, tetap jadi dirinya sendiri,
tentu dengan sebuah konsekuensi, tidak akan mendapatkan tempat dalam pergaulan.
Akibat dari citra diri yang beragam itu, munculah apa yang saya sebut dengan
magnet-magnet sosial. Namanya magnet, dia akan menarik sesuatu yang mempunyai
bahan yang sama dengannya. Jadi, orang yang mempunyai pengaruh akan menarik
orang-orang yang memiliki kesepahaman yang sama dengannya. Menurut teori, 2
kutub berbeda akan menimbulkan gaya tarik menarik diantara keduanya. Namun,
teori itu tidak berlaku bagi magnet sosial. Mereka saling tolak menolak, bahkan
cenderung saling mengalahkan daya tolaknya. Magnet yang lebih kuat, tentu akan
menimbulkan gaya tolak yang lebih besar tentunya.
Citra, tak ubahnya panggung sandiwara.
Disatu sisi kita bisa melihat sesosok orang yang sempurna
karena citra dirinya selalu baik ketika kita bertemu dengannya sehari-hari. Namun,
ketika pada kenyataannya orang itu jauh dan tidak sesuai dengan citra diri yang
ia tunjukan sehari-hari, itu namanya apa?
Itu terjadi hari ini. Sebetulnya sudah dari dulu saya ingin
sekali menulis pendapat saya tentang “citra”. Tetapi, selalu saya tahan entah
karena apa. Jika ada yang tersinggung, maaf, dan lebih baik cukupkan saja
bacanya sampai sini.
Saya bukan seorang yang agamis, tapi saya juga bukan
bajingan.
Ada seorang yang baru belajar ilmu agama. Perawakannya juga
sudah sesuai dengan sunnah Rasul; merawat jenggot, mempertipis kumis, memakai
wangi-wangian, bergamis, ishbal. Pergaulan
pun juga sangat terjaga, hanya bergaul dengan orang-orang yang bisa membawanya
pada kebaikan. Dalam jejaring sosial, update status, berbagi link, selalu
membahas tentang agama. Dalam bergaul pun juga selalu menyisipkan
istilah-istilah arab yang islami. Apalagi ketika berbicara tentang nikah, khitbah, atau yang lebih ekstrim, khalwat, sejurus kemudian akan
terdengar banyak sekali ungkapan ikhwan maupun
akhwat terlontar.
“Itu Dosa! Itu Zina!”
kata mereka berapi-api.
Halo? Apakah saling berkirim pesan dengan lawan jenis sampai
malam dan memaksanya untuk tetap terjaga, itu tidak termasuk ber-zi-na? Ohiya,
saya lupa. Berkirim pesan tidak ada kontak mata apalagi kontak fisik. Apakah
pergi berdua juga tidak termasuk ber-zi-na? Ohiya, saya lupa. Definisi pergi
berdua bagi kalian tentu berbeda dengan definisi menurut orang awam seperti
saya.
Dalam salah satu surah di Al-Qur’an di jelaskan bahwa, saling
tolong-menolonglah kamu dalam kebajikan. Seharusnya siapa saja yang ingin
berbuat kebajikan kita wajib menolongnya. Yang ditekankan adalah objeknya,
bukan subjeknya. Jadi tolong lah siapa saja yang ingin berbuat baik, bukan
tolonglah orang yang penampilannya baik, tapi tujuannya busuk.
Sering saya bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang
antitesis, orang-orang yang memiliki alterego.
Ada orang yang deskripsinya seperti diatas, tapi apa yang dia ucap dan dia
lakukan tidak sejalan. Kalau kata orang jawa, ati karo cangkeme ora podo. Ada juga orang yang dari luar kelihatan
bajingan, ternyata menyimpan ketulusan alami dalam membantu sesama, toleransi
yang lebih tinggi terhadap sesama, tanpa tendensi apapun didalamnya.
Kalau begitu, yang bajingan siapa?
Sarkas sekali ya? Lagipula siapa saya bicara soal agama.
Hidup akan lebih berwarna jika kita berani jujur terhadap
diri sendiri. Hidup dengan bersimbah imitasi akan membelenggu pikiran yang
menstimulasi kita ke jurang pemikiran yang sempit. Mengetahui siapa diri kita
sebenarnya, jauh akan membuat hidup lebih bermakna.
Oh, jadi saya dapat kesimpulannya.
Citra, merupakan salah satu cara kita sebagai manusia dalam
mencari makna. Apalagi bagi golongan manusia dewasa tanggung seperti ini.
Menemukan citra yang sesuai menjadi sangat penting. Karena, citra yang
ditimbulkan baik itu looking glass-self,
labelling atau menurut teori
sosiologi yang lainnya, tentunya akan
menjadi pijakan yang sangat penting bagi pencarian makna kehidupan yang
selanjutnya.
Saya masih belajar, karena pencarian makna kehidupan,
merupakan perjalanan spiritual bagi saya. Iman itu fluktuatif, kadang
berapi-api, kadang futhur, teronggok
tak berdaya dibawah sana. Tidak ada yang sempurna di semesta ini, karena
kesempurnaan mutlak hak prerogratif milik-Nya.
Be yourself, recognize
who you are, and you’re gonna love it!
2 komentar
gue suka banget postingan yang ini masbro :D mari sama-sama mewujudkan citra yang sudah baik itu menjadi sebuah kenyataan :D
BalasHapuseh ada yang mampir :D yuk, terus bergerak! karena berhenti berarti mati!
Hapus