Vevo Celebes, Takalar !
Desember 13, 2011“Tanpa sebuah resistor takkan ada beda potensial, listrik tidak akan mengalir, maka bersyukurlah dengan adanya perbedaan, karena dengan perbedaan itu terciptalah suatu kesatuan yang harmonis”
Satu persatu kepingan-kepingan skenario hidup mulai muncul dan semakin melengkapi puzzle kehidupanku. Ya ! Takalar, sebuah kabupaten yang sedang giat membangun di selatan kota Makassar menjadi saksi bisu terbukanya salah satu kepingan itu. Inilah tempat dimana aku menghabiskan waktuku selama dua minggu. Langitnya cerah, hawanya panas, namun aksen-aksen khas warganya memberikan suasana Celebes yang sebenarnya. Karena semuanya masih sangat alami dan terkesan tidak dibuat-buat. Sangat kontras dengan apa yang ada di jawa, walau ada beberapa hal yang mungkin boleh dibilang sama
Aku ingat ketika hari pertama masuk sekolah disana, tepatnya di SMA N 1 Takalar, yang lebih beken dengan sebutan “Smanest”. Seperti tanda tanya diantara tanda seru, kami merasa terasing, bukan karena kami atau mereka yang saling berbeda, namun bagaimana caranya memulai merajut tali persaudaraan dengan mereka. Ternyata ekspetasiku salah, kupikir orang-orang disana sulit menerima sesuatu yang “baru” seperti kami. Mungkin, dengan nada suara yang boleh dibilang tinggi dan dengan intonasi yang cepat, orang yang baru pertama kali bertemu dengan meraka menganggap mereka “kasar”, padahal justru kebalikannya. Karena mereka sangat welcome dengan kehadiran kami, bahkan kalau boleh dibilang terlalu baik, kami jadi tidak canggung lagi bergaul dengan mereka.
Tapi kenapa nada suaranya tinggi? Apakah mereka terbiasa marah? Ternyata bukan begitu, menurut salah satu guru disana, kenapa masyarakat disana jika berbicara nadanya tinggi, bahwa masyarakat Makassar dan sekitarnya adalah orang yang tinggal didaerah pesisir pantai yang ombaknya saling berdeburan dan menimbulkan suara yang keras, jadi harus memerlukan suara yang lebih tinggi dan keras dari deburan ombak agar suaranya terdengar oleh lawan bicaranya di seberang. Entah itu sejarah asli atau pun hanyalah legenda, yang jelas mereka sangat baik dan ramah.
Sesampainya disana kami diberikan nama “padaengan”. Padaengan adalah nama adat yang diberikan kepada setiap bayi yang lahir disana ditandai oleh penyembelihan satu ekor kambing. Merasa tersanjung karena kami mendapatkan gelar tersebut, karena baru beberapa jam bahkan kami ada disana. Aku sendiri mendapat nama Daeng Se’re. Se’re sendiri artinya satu atau yang pertama. Begitupula dengan teman-teman yang lain, mereka juga mendapatkan nama padaengan. Jadi, terkadang ada yang memanggilku daeng se’re, namun tidak sedikit pula yang memanggilku Taru. No problem, apalah arti sebuah nama, kata William Shakespeare.
Selama disana aku tinggal bersama Ahmad Mu’arif, atau yang akrab dipanggil dengan Echa. Echa selalu mengajariku berbahasa Makassar dan aku juga sering mengajarkan bahasa jawa ke dia, saling belajar intinya. Echa juga aktif di smanest, terbukti dengan dia adalah salah satu kandidat ketua osis saat aku berada disana, namun pada saat pencoblosan, suara yang dia peroleh kurang banyak, dan akhirnya kini ia menjadi ketua PIKK-R (Pusat Informasi Konsultasi Konseling Remaja).
Sebuah kesan yang sangat bermakna saat aku berada diantara tiga puluh siswa di kelas XI IPA 1. Saat itu sedang pelajaran agama, ketika bapak guru sedang menjelaskan materi, ada salah seorang siswa yang bertanya, kemudian ketika bapak guru belum selesai memberikan jawabannya, ada siswa lain dengan logatnya yang khas Makassar, menyampaikan sanggahannya mengenai pendapat siswa yang sebelumnya. Perdebatan ke arah positif pun terjadi, dan memicu siswa lain untuk ikut berpartisipasi aktif dalam perdebatan tersebut. Peristiwa ini terjadi secara spointan dan alami jauh dari kesan dibuat-buat, dan membuat suasana kelas menjadi hidup karena aktifnya para siswa menyampaikan gagasan, hingga bapak guru pun ikut larut dalam perdebatan tersebut. Sebuah pemandangan yang jarangku temui, terlebih yang menjadi pokok pembahasan adalah pelajaran agama yang notabene-nya dianggap sebagai pelajaran yang sangat membosankan.
Berlatih menari tarian khas Sulawesi Selatan, tariannya bernama “Tari Paddupa’. Sangat berbeda dengan tarian Jawa yang bertempo lambat dan gerakannya gemulai, tari paddupa’ bertempo cepat dengan gerakan yang sederhana namun tegas. Tarian ini biasanya diselingi dengan “Geguritan” versi Makassar dengan mengacungkan badik seraya berkata kepada para penontonnya. Aku juga menyempatkan melihat “Tari Rampa’ Gendang” yang menggunakan gendang sebagai media tarinya, dan juga berlatih menyanyi lagu daerah yang terkenal, yaitu ”Anging Mamiri”.
Bertepatan dengan hari senin, kami diberi amanah oleh kepala sekolah untuk menjadi petugas upacara, mulai dari pemimpin, pembaca naskah preambule UUD, dirigen, pembaca do’a, maupun sebagai protokoler. Aku sendiri mendapat tugas sebagai pembaca preambule UUD. Ada beberapa bagian yang berbeda dengan rangkaian upacara yang ada di Yogyakarta. Karena itu, saat pertama kami merasa kikuk, namun perbedaan itu dapat teratasi, dan penampilan kami juga tidak mengecewakan. Bertepatan juga dengan hari sumpah pemuda, pada tanggal 28 Oktober 2011, aku mengikuti upacara hari sumpah pemuda di kantor dinas kabupaten Takalar. Disana, aku menjadi salah satu wakil pemuda dalam membacakan janji sumpah pemuda bersama siswa-siwi terpilih dari sekolah-sekolah yang ada di Takalar. Suatu kebanggaan tersendiri bisa menjadi wakil dan bergabung bersama anak-anak yang terpilih lainnya.
Pantai merupakan salah satu faktor pendukung yang paling penting di Takalar, karena pantai menjadi objek wisata sekaligus sebagai sumber mata pencaharian disana, banyak sekali hasil laut yang diperoleh dari sana, dan banyak pantai yang sudah aku singgahi di Takalar. Pasir putihnya masih sangat asri dan alami serta belum tersentuh oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Disana, aku bermain air dan membakar ikan yang dibawa oleh teman-teman Takalar, mulai dari ikan tatamba, ikan katompo, ikan kerapu, ikan bandaeng, ikan monjer, ikan bonarang, dan masih banyak lagi.
Dalam berbagai kesempatan, aku banyak sekali mendapatkan dan mencicipi makanan khas yang khusus dibuat oleh teman-teman dari Takalar. Banyak sekali makanan maupun minuman khas disasana seperti cotto makassar, konroe, sarabba’, jagung putih rebus, mangga rebe’, palluce’la, mi titi’, berbagai jenis ikan laut, dan masih banyak lagi. Bahkan, tidak sedikit pula dari guru-guru yang mengajakku untuk singgah ke rumahnya, salah satu kunjungan tersebut berhasil memberikan satu lagi makanan khas utntukku, yaitu pisang epe’.
Mengunjungi acara pernikahan khas suku Makassar yang sangat unik, aku diajak oleh keluarga bapak angkatku ke rumah saudaranya di daerah Lessang, kecamatan Mangarra’bombang. Aku sangat beruntung karena dapat melihat langsung pembuatan kue khas bernama “kue cucuro” yang hanya di buat pada saat acara-acara pernikahan saja. Dan pada kesempatan berikutnya, mengunjungi resepsi pernikahan khas suku Makassar di kampung Hollywood, kota Makassar. Adat istiadat dan tatacara nya berbeda dengan yang biasa aku hadiri di kota Yogyakarta, merupakan sebuah pengalaman yang berharga dan sangat unik, karena di antara teman-teman pertukaran pelajar yang lain hanya aku yang berkesempatan mendapatkan pengalaman ini.
Finally, setiap perjumpaan pasti ada perpisahan. Akhirnya, saat-saat yang paling menguras emosi adalah ketika hari terakhir berada di Takalar, teman-teman dari Takalar mengadakan acara perpisahan denganku dan teman-teman lainnya dari Yogyakarta. Disana kami sangat menikmati detik-detik terakhir kami dengan canda tawa bersama, dan mendapatkan suguhan khas terakhir berupa es merah dan Barrobo’, semacam bubur jagung yang kental. Kemudian waktulah yang akhirnya memisahkan kebersamaan ini, rasa haru sangat aku rasakan disini, tidak sedikit pula teman-teman yang menitikkan air matanya. Nama panggilan baru pun di berikan kepadaku dari salah seorang teman yang ada disana.“Poppo” itulah panggilan baru yang kudapat. Sungguh, saat-saat yang akan terus selalu ku kenang sampai hari tua nanti. Ingin rasanya kembali berpijak di bumi panrannuangku. Ppo, semuanya, taremakasih ki sarri’battang!
Kemesraan ini . . . . . . . . Janganlah cepat berlaluuu. . . . . . . . |
0 komentar