Balada Senata Muda: MPK OBTB 2011/2012
Oktober 10, 2012
18 Agustus 2011
Saat itu usiaku tepat 15 tahun 2 bulan 19 hari. Angin berhembus seperti biasa, pun matahari masih setia menyinari dunia. Namun ada sesuatu yang berbeda, pagi itu aku sudah siap dengan baju dan almameterku ditambah sebuah partikel khas berupa emblem dan tentu saja, sepasang sepatu hitam yang biasa disebut PDH oleh teman-temanku.
Hari itu, untuk kedua kalinya aku dilantik menjadi anggota sebuah perkumpulan yang pada akhirnya mengajarkan kepadaku tentang arti keluarga yang sebenarnya. Ya, Majelis Perwakilan Kelas Osis Bhinneka Teladan Bhakti, salah satu pilar dari sebuah semesta bernama Teladan. Tempat dimana kita bisa lebih mengerti fungsi dari mata, telinga, mulut, dan hati.
Pelantikan pertamaku terjadi pada tahun 2010 silam, saat aku mulai meniti sebuah jembatan tak berlampu di malam hari, mencari-cari arah yang benar dalam mengarungi kehidupanku di SMA. Kelas X, masa dimana pilihan harus dipilih (dengan rumitnya). Ketika kertas bertuliskan “Assalamualaykum” sampai di tanganku hingga Iring-iringan pengurus baru periode 2010/2011 sudah melakukan gladi resik di aula. Detik-detik menjelang pelantikan, aku tidak mempunyai perasaan apapun karena aku berada dibarisan ke empat dari depan. Walau pengeras suara sudah bergema, namun tetap saja rasa itu tidak ada. Setelah pelantikan selesai, mereka menyebutku sebagai anggota koasinter, komisi aspirasi dan interaksi. Tergabung bersama dua orang laki-laki dan dua orang perempuan, yang pada akhirnya mempunyai kisahnya sendiri.
Menjelang tanggal 18 Agustus, lagi-lagi harus aku akui bahwa pilihan itu harus dipilih (dengan rumitnya) walau saat itu aku sudah menginjak kelas XI. Rasanya aku tak perlu menjelaskan cerita ini lebih jauh, karena aku sudah menulisnya disini, satu tahun yang lalu.
Hingga saat semua sudah bersiap melakukan gladi resik di aula (untuk kedua kalinya). Aku masih sibuk berdiam diri di toilet dekat kolam ikan, membasuh mukaku berkali-kali, hingga pada suatu kesimpulan yang terlintas di benakku : “Apakah aku mampu mengemban semua ini?”
Pelantikan pun dimulai, hentakan kaki saling beradu menyusul bertemunya keenam pionir dalam jarak yang sangat dekat, hanya dipisahkan oleh sebuah meja kecil beralaskan taplak biru ulang tahun emas Teladan ke-50. Ya, sekarang aku berada di barisan terdepan, maju 3 baris dari posisiku tahun lalu. Iring-iringan kini berganti menjadi periode 2011/2012. Sungguh sebuah pergulatan batin yang sangat dahsyat ketika bendera teladan itu diserahkan kepadaku, perasaan campur aduk ketika seorang di sebelah kiriku menggoreskan penanya pada selembar berkas di atas meja itu. Di kanan orang itu, berdiri seorang laki-laki tambun yang dengan tegapnya mengikuti prosesi ini. Di belakangku terdapat 26 orang yang setia mengamati apa yang terjadi di depan. Hingga prosesi ini selesai, 3 orang di depanku berbondong-bondong menyalami kami semua, ada juga yang memeluk dengan eratnya. Hingga orang-orang itu menyebutku dengan sebutan baru, Senata Muda.
Waktu pun terus bergulir, adakalanya kita tertawa bahagia, adakalanya kita berduka lara. Disini, proses mengajarkanku untuk terus membenahi diri, berpikir dewasa dalam setiap keadaan, karena menurutku menjadi bijak bukanlah sebuah pencitraan, namun sebuah sudut pandang. Aku? Terkadang kau dituntut untuk menjadi air, yang menjadi pelarut bagi zat tertentu, yang menjadi penyejuk dikala mentari menyengat, yang menciptakan larutan baru dari perpaduan zat-zat yang berbeda. Adakalanya kau dituntut untuk menjadi minyak, larutan solid yang tidak bisa bercampur dengan air, larutan yang mempunyai kepekatan tersendiri, dapat mengikuti berbagai macam wadah tanpa menghilangkan kandungan yang ada di dalamnya. Menjadi air dan minyak, dua hal yang sangat bertolak belakang bukan?
Disini, ancaman terbesarku bukan dari pihak luar atau pihak yang secara pribadi membenciku. Bagiku, hidup di dunia merupakan sebuah kenistaan, jadi wajar jika lebih banyak orang yang membencimu daripada orang yang menyukaimu. Jadi, jikalau kamu berada dalam posisiku, biasakanlah dengan keadaan seperti itu. Ancaman terbesar justru datang dari dalam, sebuah zarah yang aku tak tahu cara kerjanya, perasaan.
Perasaan, sebuah seni yang hingga kini aku tertarik untuk memperdalam wawasanku tentangnya. Bagaimana menjaganya, bagaimana merawatnya, bagaimana menjinakannya, hingga bagaimana kita membangkitkan gairahnya. Seperti dikutip dari sebuah artikel dalam majalah sekolah, “Kita boleh punya seribu topeng, tapi muka ya tetep satu. Konsisten sama jati diri kita”, menunjukan bahwa perasaan itu kompleks, lebih kompleks dari proses katabolisme yang melibatkan reaksi bermacam substrat didalamnya. Kau, banyak belajar ya, jangan apatis, pelajarilah seni ini.
Rasanya baru kemarin………
Rasanya baru kemarin aku memilih jalan ini
Rasanya baru kemarin aku menerima bendera itu
Rasanya baru kemarin aku berkenalan dengan 28 orang yang mengagumkan itu
Rasanya baru kemarin aku mendapatkan ilmu di malam itu
Rasanya baru kemarin aku berjalan jauh
Rasanya baru kemarin aku meninggalkanmu dengan ‘terpaksa’
Rasanya baru kemarin aku bergumam tak berujung
Rasanya baru kemarin aku belajar menitikkan air mataku
8 Oktober 2012
Sekolah gegap gempita dengan para siswanya mengenakan baju kebesaran jawa. Hari itu, sekolah mewajibkan muridnya memakai baju jawa untuk memperingati ulang tahun kota Yogyakarta. Aku hanya menggunakan baju lurik seadanya karena sehari sebelumnya aku terlalu menikmati saat-saat indah di rumahku, ketika wajah-wajah polos itu tersenyum, seakan tak ada beban yang mendera. Mempermainkan nalar, membolak-balikkan hati.
Saat itu, tepat 1 tahun 1 bulan 11 hari setelah aku menerima bendera biru dari seseorang didepanku. Dan kini, posisiku maju satu langkah lagi. Menggantikan orang yang pernah memberikan bendera biru itu kepadaku. Ya, masa bhakti ku telah habis. Masa dimana kau menggali seberapa besar potensi yang kamu miliki. Sejujurnya, tanganku bergetar ketika aku menyerahkan bendera itu kepadamu, akupun juga tak tahu bagaimana perasaanmu terhadapnya. Ketika ku pegang bendera itu, memori di otakku sekan berputar kembali seperti didalam film drama romansa, kisah hidup yang dibumbui cinta. Bukan cinta semu remaja terhadap wanita, melainkan cinta nyata terhadap apa yang selama ini kau perjuangkan, sebuah keluarga, yang namanya akan terpatri dalam ruang khusus dalam salah satu lobus jantungku. Sebuah memori bertuliskan:
“Cerita cinta Majelis Perwakilan Kelas Osis Bhinneka Teladan Bhakti Periode 2011/2012”
Ini memang sebuah akhir, sebuah akhir hitam diatas putih. Akhir yang melahirkan awal. Awal menuju fase berikutnya. Fase dimana aku merasa bangga memiliki mereka. Satu yang ku janjikan pada mereka. Kami memang tidak terlihat, namun kami selalu ada….
Selamat bertugas Adikku…
Selamat purna kawanku…..
in harmonia progressio !!!
0 komentar