Nasionalisme ?
Februari 16, 2012Nasional.is.me |
Buku ini adalah buku yang sudah saya incar sejak bulan november tahun lalu. Sejak pertama kali saya melihatnya, yang terlintas di benak saya adalah "berat", mengapa? Menurut saya nasionalisme adalah sesuatu yang "berat". Saya pikir buku ini basi seperti buku-buku patriotik lainnya, isinya hanya kutipan teori yang bersifat teoritis bahkan pragmatis. Tapi saya jadi sangsi ketika melihat siapa penulisnya, Pandji Pragiwaksono. Orang yang pertama kali saya tahu dari acara "Kena Deh" di AnTV jaman dulu. Pikiran saya selanjutnya mengenai buku ini pun berubah, tebakan saya menjadi anekdot-anekdot kocak seputar ke-Indonesia-an dengan gaya Pandji, yang sekarang lebih saya tau sebagai pengisi StandUp Comedy. Berbekal rasa suka saya terhadap buku komedi, saya mengambil buku itu dan langsung membukanya. Lembar yang saya buka waktu itu berisi tentang "Makassar". Dan, seketika saya merinding. Entah kenapa saya pun tidak tahu, yang jelas Makassar dan Celebes-nya punya banyak kenangan bagi saya, mungkin hal ini lah yang membuat saya tertarik sekali untuk membaca buku ini. Dan, karena suatu hal entah itu apa, sampai hari ini pun saya belum mempunyai bukunya. Ya, memang kadang keinginan kita belum bisa terkoordinir karena kita belum mepunyai kesempatan ataupun............ uang.
Suatu ketika saya menemukan e-book buku ini, ya versi yang belum di-edit (menurut saya). Hal itu saya tau dari analisis dan ilmu yang saya dapatkan saat magang di Bentang Pustaka, penerbit yang akhirnya menerbitkan buku ini :)
Tanpa menunggu lagi, saya baca ebook ini hingga pukul 2 pagi, karena membaca langsung dibuku dengan di layar komputer itu berbeda rasanya, jadi memang butuh waktu yang lebih lama untuk mencerna isi dari buku ini. Gaya menulisnya memang "slenge'an" mungkin karena ini buku pertamanya, atau memang dia sengaja melakukannya, entahlah.
Setelah saya menyelesaikan ebook tersebut. Saya tertohok, campur aduk.
Di saat saya bercita-cita ingin ke luar negri, buku ini malah mengajarkan saya untuk lebih mencintai Indonesia.
Dengan cara apapun, dalam kesempatan apapun. Antiklimaks.
Ya, yang ditulis pun tidak dengan nada sarkastis, sumpah serapah, dan sebagainya.
Tapi mengalir dengan bukti nyata yang "mereka-mereka" lakukan untuk Indonesia.
Didalamnya juga terdapat perspektif yang berbeda mengenai Indonesia, dan itu yang dapat membuat kita menjadi "Indonesia" dalam diri kita. Kita menjadi cinta, tapi tidak buta.
Karena kecintaan yang buta hanya menimbulkan fanatisme belaka, yang karenanya kita menjadi mudah sekali terbawa arus, di adu domba, pecah belah, binasa.
Dan, pelajaran yang secara nyata bisa saya petik dari buku ini adalah perspektif, cara pandang.
Perspektif lah yang membuat kata "bisa" menjadi beragam maknanya.
Fanatis, boleh. Tapi jangan buta.
Lihatlah dunia luar, jangan hanya terkungkung di satu tempat, stagnan.
Jangan hanya melihat kedalam sekolah, tapi keluar sekolah. didalam memang baik, tapi diluar jauh lebih baik.
Indonesia memang beda, kita plural, Islam, Kristen, Katholik, Budha, Hindu, bahkan Kong Hu Chu pun hidup berdampingan dengan damai. Negara yang 90% nya beragama Islam pun, tidak ingin memaksakan kehendaknya menjadi Negara Islam. Subhanallah, Maha Suci Allah.
Orang yang merasa fanatis buta, karena dalam hidupnya dia hanya merasakan dan melihat satu warna yang sama, mereka justru hanya peduli dengan "golongan" mereka. Padahal, sekali lagi tolong lihatlah dunia luar. Mungkin, semua itu bisa dilakukan karena memang lingkungan mendukung. Tapi coba keluar, sekali lagi. Tidak usah keluar pulau dulu, keluar sekolah saja. Perbedaannya sangat berbeda, mencolok.
Dan, saya sangat salut kepada orang-orang yang tetap mempertahankan ideologi mereka dan membawa perspektif berbeda ketika mereka bertemu orang yang berbeda. Itu menandakan bahwa sebenarnya ia tau Indonesia, Indonesia itu beragam, indonesia itu luas, bukan hanya sebuah tempat semu yang penghuninya berganti sepanjang tahun. Lebih-lebih ia tau apa yang selama ini ia Yakini. Bahwa ajaran agama manapun, mengajarkan kita untuk selalu baik kepada semua orang.
Justru saya menjadi antipati ketika semuanya itu menjadi berlebihan, tidak sesuai dengan porsi dan tempatnya. Menganggap bahwa semua yang berada "di luar area" nya tak lebih dari sebuah boneka, acuh.
Terakhir, ada pepatah dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX :
"Sak dhuwur dhuwur e uwong, kudu ne kowe tetep wong jawa"
Tapi kalau menurut saya:
"Siapapun kamu, mau jadi apapun kamu, harusnya kamu tetap INDONESIA"
This book is highly recommended for you who want to know Indonesia in new perspective. brondongsarap.
0 komentar